Warga Papua di Yogyakarta Tuntut Pencabutan DOM di Puncak Jaya
Senin, 21 Juni 2010 12:29:00
YOGYA (KRjogja.com) - Puluhan warga Papua di
Yogyakarta yang tergabung dalam Solidarutas Untuk Papua (SUP) melakukan aksi
unjuk rasa di Tugu Yogyakarta, Senin (21/6). Warga papua yang didominasi para
mahasiswa ini menuntut pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang diberlakukan
di Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
Koordinator Umum aksi,
Leksi Degei menyatakan, kejadian di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya
selama ini luput dari pemberitaan media. Pasalnya, kawasan tersebut telah
diambil alih oleh aparat TNI dan Polri sejak tanggal 7 Juni 2010 lalu.
"Kita tidak tahu
kenapa ada kesepakatan Pemda Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan
Polda Papua mengenai status DOM di kawasan Puncak Jaya tersebut. Tidak ada
publikasi media disana, padahal telah terjadi pelanggaran HAM berat,"
terangnya di sela massa aksi.
Leksi menambahkan,
pihaknya mengajak seluruh kalangan untuk membuka mata mengenai kejadian di
Puncak Jaya tersebut, dimana kebijakan bumi hangus, memaksa seluruh warga
Puncak Jaya harus segera meninggalkan daerahnya paling lambat hingga 28 Juni
2010. Warga Puncak Jaya seolah terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
"Semua warga disisir
oleh TNI, banyak pembunuhan keji yang terjadi. Kami meminta untuk menghentikan
aksi bumi hangus tersebut dan segera mencabut status DOM di sana,"
imbuhnya.
Massa aksi memberikan
tenggat waktu kepada pemerintah untuk mencabut status DOM tersebut hingga Sabtu
(26/6) mendatang. Jika tuntutan mereka tidak juga dipenuhi, maka massa meminta
status otorita bagi Papua.
"Pemerintah SBY yang
paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Aksi kali ini hanya sebagai
publikasi awal. Setelah ini, kami akan menggelar aksi nasional yang lebih besar
lagi di Jakarta," ujar Leksi.
Dalam aksi ini, warga
Papua sempat melakukan longmarch dari Tugu Yogyakarta menuju perempatan Kantor
Pos Besar Yogyakarta dengan berjalan kaki. Sekitar satu jam menggelar aksi,
massa membubarkan diri dengan pengawasan ketat aparat Satuan Samapta Poltabes
Yogyakarta. (Dhi)
Sumber :
http://www.krjogja.com/news/detail/37857/Warga.Papua.di.Yogyakarta.Tuntut.Pencabutan.DOM.di.Puncak.Jaya..html
=============
“Segera Cabut Status Daerah Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan
Bumi Hangus dari Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua”
Rezim Fasis Boneka Susilo
Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada
periode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara
"mendasar, menyeluruh, dan bermartabat". Niat SBY itu, terasa kian
menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia,
jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai
pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di
Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan
antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda
Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan
XVII/Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan
pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional
dan kepala desa segera keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat
antara 27 - 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan
menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi
di balik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)
Tanggal terakhir bagi
pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah
tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer
(DOM) di mana alat reaksioner negara (TNI dan Polr) akan melakukan operasi sapu
bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan
ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri)
menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah
tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner
negara (TNI dan Polri) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan
memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu.
Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan
sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak
mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala
Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman
Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari
ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah
kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan
kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan
mungkin di sungai Guragi ataukah mungkin mereka kuburkan. Selain itu Gereja
GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah dibakar habis oleh alat reaksioner
negara (TNI dan Polri). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru
dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka.
Pada tanggal yang sama
yaitu 17 Maret 2010 malam, TNI terus beroperasi dari arah Desa Kalome menuju di
ibu kota Distrik Tingginambut, di daerah tersebut terdapat sebuah rumah Honai
(rumah adat Papua) yang mana berada sekelompok massa rakyat yang sedang
tertidur lalu mereka dikepung oleh anggota TNI yang sama setelah menembak mati
Pdt. Kindeman Gire pada jam 5 sore hari kemarinya dan pada pagi jam 05.00 subuh
hari, Kamis Tanggal 18 Maret 2010 TNI mengepung sejumlah warga yang ada dalam
satu honai itu berjumlah 13 orang. Tidak ada satupun yang lolos semuanya
tertangkap lalu penyiksaan dilakukan oleh TNI. Penyiksaan yang dialami ke 13
korban sangat berat dan bahkan lebih buruk dan banyak dari mereka tinggal
menungguh waktu untuk mati karena hantaman bokong senjata dan tusukan pisau
sangkur. Ke 13 nama korban tersebut adalah Garundinggen Morib (45 Thn), Ijokone
Tabuni (35 Thn), Etiles Tabuni (24 Thn), Meiles Wonda (30 Thn), Jigunggup
Tabuni (46 Thn), Nekiler Tabuni (25 Thn), Biru Tabuni (51 Thn sedang sakit
parah), Tiraik Morib (29 Thn), Yakiler Wonda (34 Thn), Tekius Wonda (20 Thn),
Neriton Wonda (19 Thn), Yuli Wonda (23 Thn), dan Kotoran Tabuni (42 Thn).
Sampai hari ini kondisi mereka sangat memprihatinkan. Serta hingga hari ini
sulit mendapatkan gambar karena memang kondisi kontrol alat reaksioner negara (TNI
maupun Polri) terhadap segala akses informasi yang masuk dan keluar dari
Kabupaten Puncak Jaya.
Selanjutnya pembantaian
terhadap warga sipil tidak berdosa terus berlanjut, tepatnya pukul 16.00 hingga
21.00 pada hari Senin tanggal 23 Maret 2010, TNI dari Kesatuan Yonif 753 yang
bertugas di Pos Puncak Senyum Distrik Mulia Ibu Kota Kabupaten Puncak Jaya
melakukan operasi sapu bersih terhadap warga massa rakyat yang bermukim
disekitar Desa Wondenggobak. Akibat tembakan membabi buta ini, mengakibatkan
Enditi Tabuni seorang anak mantu dari Pdt. Yason Wonda, Wakil Ketua Klasis GIDI
Mulia tertembak hingga mati dan tembakan membabi buta itu mengenai seorang ibu
rumah tangga yang sedang tidur hingga peluru bersarang di lututnya,
mengakibatkan korban harus di larikan ke rumah sakit umum Jayapura karena
kesulitan melakukan operasi di rumah sakit umum Mulia, Puncak Jaya. Kemungkinan
korban akan sembuh, kalau tidak kakinya harus diamputasi dan kemungkinan
terburuk korban akan meninggal dunia. Itulah wajah, karakter dan model alat
reaksioner negara (TNI dan Polri) yang bermental pengecut sehingga perempaun
pun ditembak atau dibantai secara tidak manusiawi.
Hingga saat ini belum
terdata secara pasti berapa jumlah korban jiwa dan material yang berjatuhan
karena begitu ketatnya kontrol akses informasi yang dilakukan oleh alat
reaksioner negara (TNI dan Polri). Dan pengungsian ratusan hingga ribuan massa rakyat
Papua dari Distrik Tinginambut tersebut sejak kemarin 07 Juni 2010 telah masuk
di Wilayah Kabupaten Jayawijaya - Wamena dan diperkirakan pengungsian lain akan
menyusul. Selain itu pengungsian dari Distrik Tinginambut tersebut juga telah
masuk di beberapa daerah seperti : Ilaga, Sinak, Kuyawagi, Ilu dan beberapa
Kabupaten di Pegunungan Papua. Selain itu tenda-tenda pengungsian yang telah
memasuki Kecamatan Wunineri Kabupaten Tolikara dilarang didirikan tanpa alasan
yang jelas oleh Militer. Alat reaksioner negara dari gabungan kesatuan TNI AD,
TNI AU, TNI AL dan Polri (Brimob) telah menguasai hampir seluruh pelosok dan
kota Kabupaten Puncak Jaya, bahkan kendali pemerintahan sepenuhnya dikuasai
oleh alat reaksioner negara (TNI dan Polri). Hingga saat ini tindakan
pembakaran terhadap rumah-rumah warga massa Rakyat, Gereja, penembakan ternak,
penelanjangan terhadap perempuan dan intimidasi terhadap massa rakyat Papua
terus berlanjut.
Dengan banyaknya korban
jiwa dan material yang terus berjatuhan dan tindakan kekerasan yang terus
dilakukan oleh alat reaksioner negara (TNI/Polri) terhadap warga sipil tidak
berdosa hingga hari ini di Puncak Jaya, Papua, maka kami dari Solidaritas Untuk
Papua (SUP) menuntut dan mendesak rezim fasis SBY-Budiono untuk segera :
1. Cabut status Daerah
Operasi Militer (DOM) dan Kebijakan Bumi Hangus dari Tingginambut, Puncak
Jaya-Papua paling lambat tanggal 26 Juni 2010
2. KOMNAS HAM segera
menyelidiki kasus Kekerasan Militer di Tingginambut, Puncak Jaya-Papua
3. Hentikan dan Tarik
Pengiriman Militer Organik dan Non-Organik ke Puncak Jaya dan seluruh Papua
4. Hentikan Intimidasi dan
Kekerasan Militer di Puncak Jaya dan seluruh Papua
Demikian statement
solidaritas ini kami buat, jika tuntutan kami tidak segera dipenuhi oleh rezim
hari ini, maka kami akan mengalang solidaritas yang seluas-luasnya untuk
mendesak pencabutan status Dearah Operasi Militer (DOM) atau ‘Kebijakan Bumi
Hangus” di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya – Papua.
Yogyakarta, 21 Juni 2010
Koordinator Umum
Leksi Degei
============